WEBINAR PPLA
Hari Sabtu, 27 Juni 2020, pukul 15.00 WIB diadakan webinar oleh Panca Pradipta Law Associates (PPLA) dengan tema: Fenomena Perdagangan Orang: Perlindungan Terhadap Korban dan Perspektif Hukum UU PTPPO di Indonesia. Dikutip dari laman facebooknya, PPLA sendiri merupakan lembaga yang memiliki kepedulian akan fenomena ketimpangan hukum di Indonesia yang dewasa ini sering mendapatkan kritik dari masyarakat. Lembaga ini diluncurkan pada tanggal 20 Mei 2020, dengan tujuan memberikan bantuan kepada sesama untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Visi mereka adalah menjadi yang terdepan dalam memberikan layanan konsultasi dan bantuan hukum secara profesional, yang ditempuh dengan cara memberikan konsultasi dan bantuan hukum secara profesional, membangun iklim hukum yang berpihak pada kebenaran dan keadilan, dan membangun kesadaran hukum di masyarakat melalui praktek hukum, pengembangan jaringan yang kooperatif dan akomodatif dengan tetap menjunjung etika profesi, serta memberikan opini dan informasi hukum terkait dengan kasus-kasus dalam masyarakat terkait dengan teknologi dan informasi itu sendiri. Mereka mengusung motto: right and justice. Beberapa program kerja telah disusun untuk mendukung visi misi tersebut, antara lain konsultasi dan pendampingan hukum, legal opinion, pplapedia yang berisi infografis hukum, serta webinar goes to show, serta penyuluhan hukum. Webinar ini sendiri merupakan program goes to show kedua yang dilakukan oleh PPLA, setelah webinar yang pertama yang bertema: “Bullying: Ancaman Serius Keberlanjutan Generasi Bangsa”
Moderator membuka webinar ini dengan menyajikan fakta bahwa TPPO semakin marak terjadi baik domestik maupun batas lintas negara, dengan korban paling banyak adalah perempuan dan anak. Oleh sebab itu, PPLA tergerak untuk meningkatkan kewaspadaan dan kesadaran masyarakat akan bahaya TPPO ini dengan melakukan webinar yang mengundang narasumber yang telah lama bersentuhan dengan para korban. Direktur Utama PPLA, I Kadek Sudiarsana SH dalam sambutannya juga menyampaikan bahwa TPPO adalah fenomena yang tidak bisa dihindari di sekitar kita. PPLA sendiri berharap dengan diadakan pertemuan ini semua yang hadir bisa menjadi garda depan untuk memberantas praktik TPPO di sekitar kita.
Materi pertama disampaikan oleh Gherald Theodorus L. Toruan, S.H.,M.H. tentang Ancaman Perdagangan Orang di Indonesia. Cakupan materinya adalah latar belakang, fakta di lapangan dan solusi.
- Latar belakang (sejarah):
Perdagangan orang sudah ada sejak dulu kala, dimulai dari tahun 1000 sampai tahun 1300-an, dimana yang menjadi korban adalah orang kulit hitam yang berasal dari Afrika yang diperjualbelikan. Pada tahun 1500-an, perbudakan masuk di negara Spanyol dan Portugal, di Amerika sekitar tahun 1700-an memiliki budak adalah hal yang biasa, namun pada tahun 1885 perbudakan di hapuskan di Amerika Serikat. TPPO merupakan salah satu jenis kejahatan Transnasional. Indonesia bukan lagi negara tujuan perdagangan orang, melainkan sudah sebagai negara pengirim korban TPPO. Data IOM menunjukkan Indonesia berada pada urutan utama dengan kasus TPPO terbanyak. Data KPAI menunjukkan kasus TPPO terhadap anak pada Januari-Agustus 2019 adalah 154 kasus. Tidak ada data korban TPPO yang terintegrasi antar kementerian dan lembaga. Modus-modus TPPO adalah PMI, penjualan anak, penyelundupan manusia, migrasi dengan tekanan, prostitusi perempuan dewasa, kerja paksa seks, pembantu rumah tangga, ABK, penjualan organ, beasiswa, pengantin pesanan. Beberapa kasus TPPO yang terjadi di Indonesia adalah kasus Wilfrida Soik pada 2010, Yufrinda Sela pada 2015 (meninggal), tujuh anak gadis Sukabumi pada 2016, Dolfina Abuk pada 2016 (penjualan organ), Sri Rahabitah pada 2017 (penjualan organ), Adelina Sau pada 2018 (meninggal), ABG Cianjur di Bali pada 2020, 22 ABK Indonesia di Kapal Long Xing 629 Cina pada 2020.
Selanjutnya dasar hukum dari TPPO yaitu Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
- Fakta di lapangan.
Penyebab adanya TPPO antara lain kemiskinan dan tingkat pendidikan rendah, kebiasaan merantau untuk memperbaiki nasib, tradisi mengawinkan anak usia muda, gaya hidup kota yang konsumtif, kebiasaan menganggap pelacuran sebagai hal yang lumrah, bisnis buruh migran yang berkembang menjadi industry yang sangat menguntungkan, semakin meningkatnya kejahatan terorganisir, diskriminasi dan persoalan gender, untuk memenuhi kebutuhan narkoba.
Pola perekrutan pelaku TPPO dimulai dengan pendekatan secara emosi dan psikologis dan dilanjutkan dengan iming-iming uang dan fasilitas bagus pada akhirnya berujung pada eksploitasi seksual.
Kelemahan penegak hukum di Indonesia dalam menangani kasus TPPO adalah
- Aparat Penegak Hukum (APH) lebih banyak memakai KUHP daripada UU TPPO yang mengakibatkan korban menjadi tersangka
- Implementasi UU TPPO yang masih sangat lemah
- Penegakan hukum atas kasus TPPO belum mampu mewujudkan keadilan karna tidak dijalankan secara integral
- APH belum mengoptimalkan pendekatan keilmuan dalam penyelesaian perkara
- Penegakan hukum kasus dapat dipengaruhi keadaan dan interaksi sosial karena adanya permainan uang
- Adanya permainan kotor dalam penegakan hukum oleh orang-orang yang terlibat pengaturan perkara dalam tahapan proses peradilan pidana
- Kesadaran hukum dan penegakan hukum APH belum menumbuhkan hukum integral dan berkualitas
- Penegakan hukum pidana perkara TPPO belum diorientasikan untuk menwujudkan nilai keadilan masyarakat.
- Adanya pemalsuan identitas dan dokumen sehingga mempersulit penyelesaian data korban TPPO
- Belum adanya harmonisasi kebijakan terkait TPPO
Pemahaman masyarakat di desa-desa, khususnya di daerah yang miskin dan tertinggal pada umumnya sudah mengetahui tentang TPPO, namun karena masalah ekonomi, orangtua memberikan anak mereka pada calo perdagangan orang.
Perbedaan Human Trafficking dengan People Smuggling yaitu Human Trafficking dilakukan dengan adanya tekanan, sementara people smuggling adalah adanya migrasi yang dilakukan secara illegal dan biasanya dimulai dengan pemberian uang dari korban kepada calo.
- Solusi untuk masalah TPPO ini yaitu perlu dibuat one integrated database TPPO, perlu ditingkatkan intensitas pelatihan TPPO bagi APH, sosialisasi secara massif kepada masyarakat tentang bahaya TPPO, APH yang sudah paham dan menguasai TPPO tidak dimutasi.
Materi kedua oleh Suster Laurentina, PI tentang Migrasi dan Perdagangan Orang. Suster menguraikan bahwa hampir setiap bulan selalu ada berita tentang perdagangan manusia dan hampir setiap minggu NTT menerima jenazah PMI non-prosedural. Migrasi tenaga kerja sangat beresiko karena masuk ke dalam jalur mafia perdagangan orang. Banyak upaya yang dilakukan untuk perlindungan PMI, namun masih rentan dan beresiko dalam migrasi. Indonesia termasuk salah satu asal pekerja migran terbesar yang pada umumnya bekerja pada sektor dengan pendapatan minim. Fakta yang ditemui di lapangan akibat migrasi beresiko adalah adanya pemalsuan data, mengalami kekerasan (fisik dan psikis), hancurnya bahtera rumah tangga, kontrak kerja tidak sesuai dengan penghasilan, serta paling menyedihkan saat pulang tinggal nama. Sulitnya untuk mengungkap kasus perdagangan orang adalah karena jerat hukum pelaku TPPO yang sulit untuk dilakukan, hukum yang tidak berpihak pada korban, proses dalam pendampingan korban yang memakan waktu lama, serta modus TPPO yang selalu berubah. Pelayanan kargo yang ada di NTT dilakukan karena berbagai faktor, antara lain atas asar kemanusiaan, alamat jenazah yang dipulangkan tidak jelas, adanya agen mayat dimana jenazah PMI diperjualbelikan, dan untuk data otentik, sehingga dalam pelayanan kargo ini Suster bekerjasama dengan BP2PMI. Kendala yang terjadi di lapangan dalam pelayanan kargo ini antara lain adalah mahalnya biaya pemulangan jenazah, fasilitas yang kurang memadai, kasus TPPO yang tidak tuntas, pemalsuan data membuat sulit mencari informasi, dan sulitnya medan yang ditempuh.
Kedua materi di atas kemudian diperdalam di sesi tanya jawab.
Pertanyaan:
- Hal fundamental apa yang harus disampaikan kepada calon PMI untuk mengedukasi mereka?
- Mengapa perempuan dan anak lebih rentan terhadap TPPO?
- Apakah bedanya penanganan kasus smuggling dengan TPPO berdasarkan kasus yang ditangani?
- Ada celah dimana keluarga menjadi pelaku TPPO, bagaimana penanganan hal ini?
- Sejauh mana peran Pemda dalam pencegahan TPPO di Indonesia dan apakah Pemda berwenang membuat Perda TPPO?
- Bagaimana jika masih banyak P2MI/PJ yang saat ini banyak sekali tidak bertanggung jawab tapi masih beroperasi?
- Bagaimana penerapan sanksi terhadap pelaku TPPO?
- Bagaimana pendapat narasumber berkaitan dengan kasus TPPO, hukum tidak berpihak pada korban dan bagaimana menangani kasus perdagangan orang ini?
- Apakah perdagangan anak dengan tujuan menjual anak tersebut menjadi anak tiri dinyatakan legal? Jika legal bagaimana melegalkannya?
Atas pertanyaan-pertanyaan di atas, berikut tanggapan dari para nara sumber:
- Dari Pak Gerald: Yang perlu diedukasikan adalah tentang isi kontrak perjanjian kerja, lembaga-lembaga di negara penempatan yang bisa untuk menolong jika PMI mengalami masalah, mengetahui PT/PJTKI yang merekrut legal atau illegal, lebih baik jika PJTKI dari pemerintah.
- Dari Suster Laurentina PI: Karena biasanya perempuan dan anak lebih mudah untuk diintimidatasi atau diancam, berkaitan dengan psikologi perempuan dan anak yang lebih mudah mengalami stress jika berada dalam tekanan dan mereka sulit untuk membela diri.
- Dari Pak Gerald: Belum pernah menangani kasus smuggling sebelumnya, dan dalam materi tadi hanya disampaikan untuk melihat perbedaan antara Human Traffcking dan People Smuggling.
- Dari Pak Gerald: Ini adalah fenomena unik, justru keluarga menjadi penyebab TPPO dan menjadi masalah dilematis karena melihat keadaan keluarga yang bermasalah pada masalah ekonomi sehingga saat dibujuk rayu dengan iming-iming uang orangtua rela memberikan anak mereka untuk pergi bekerja menjadi PMI.
Dari Suster Laurentina PI: Melihat situasi di NTT, banyak keluarga yang miskin. Saat pelaku memberikan uang sirih pinang kepada orangtua sama artinya dengan sudah membeli anak mereka dan tidak lagi memiliki hak terhadap anak mereka. Keluarga sendiri tidak sadar bahwa mereka sudah menjual anak mereka, yang mereka tahu anak mereka pergi untuk bekerja.
- Dari Pak Gerald: Di NTT ada moratorium dengan tujuan mencegah TPPO, peran-peran inilah yang dilakukan oleh pemerintah, sosialisasi pun dilakukan terus tapi kasus tetap terjadi karena mafia perdagangan orang yang bekerja secara underground atau sembunyi-sembunyi, dan sampai sekarang pemimpin atau big bossnya yang belum terjamah hukum.
Dari Suster Laurentina PI: Di setiap daerah sudah ada SatGas Trafficking dan sudah ada programnya dari provinsi sampai ke desa-desa. Namun kita tidak bisa mencegah orang untuk pergi berangkat bekerja karena kebutuhan hidup mereka. Dalam sosialisasi yang dilakukan, penekanan lebih kepada bekerja secara prosedural. Moratorium yang dilakukan pemerintah NTT belum menjamin TPPO bisa diberantas. Ada program Desmigratif yang sangat membantu meskipun belum semua desa ada karena untuk menjadi Desmigratif ada persyaratannya. Pelaku yang tertangkap di NTT adalah kaki tangan dari big boss yang sama sekali belum tersentuh. Ada dua jenis pelaku, aktif dan pasif dan yang paling berbahaya adalah pelaku pasif karena sulit ditangkap.
- Dari Pak Gerald: Calon PMI harus tahu perusahaan yang merekrut mereka itu resmi atau illegal dan mengetahui kontrak kerja yang jelas.
Dari Suster Laurentina PI: Banyak PJTKI yang sudah dibekukan di NTT namun masih beroperasi diam-diam.
- Dari Pak Gerald: Mafia TPPO sulit untuk langsung dijerat karena banyak orang yang terlibat dengan peran masing-masing, misalnya ada yang di bagian perekrutan, ada bagian pemalsuan dokumen dll. Prosesnya pun berpindah-pindah dari satu kota ke kota yang lain. Kondisi ini diperparah dengan pola pikir masyarakat yang menganggap bahwa meskipun sudah di negera lain, mereka tetap akan baik-baik saja seperti halnya saat di dalam negeri dan tidak ada administrasi.
Dari Suster Laurentina PI: Lemahnya implemnetasi UUD TPPO membuat sulit dalam penangkapan pelaku. Meksipun sudah dilakukan sosialisasi tentang TPPO kepada pihak atau instansi yang berkaitan namun belum ada pemahaman sehingga hukum tidak berpihak pada korban. Harapannya agar adanya peningkatan kerjasama diantar pihak pemerintah.
- Dari Pak Gerald: Hukum yang tidak berpihak pada korban karena aparat hukum yang tidak memahami UUD TPPO. Korban bahkan bisa menjadi tersangka karena aparat hukum yang lebih memilih untuk memakai KUHP daripada UUD TPPO. Untuk mengatasi masalah ini, calon PMI harus mengetahui PT yang merekrut mereka.
Dari Suster Laurentina PI: Dalam penanganan kasus di Kupang, membangun kerjasama dengan APIK yang konsen dengan TPPO, perempuan dan anak. Dialog dengan pemerintah pun dilakukan, namun jika itu belum cukup maka jaringan disini melakukan aksi turun kejalan, seperti tahun lalu dalam pendampingan keluarga Adelina Sau bertemu Kapolda dan Gubernur NTT dalam aksi turun ke jalan.
- Dari Pak Gerald: Dalam konteks adopsi anak yang mana prosesnya sangat ketat, harus ada saksi dari pihak pemerintah juga proses dalam membangun hubungan antara anak yang akan diadopsi dengan orangtua yang mau mengadopsi.
Usai sesi tanya jawab dilanjutkan dengan sharing pengalaman pribadi dalam kasus TPPO.
- Sharing dari Direktur Utama Panca Pradipta Law Associates (PPLA) bahwa sudah dua kali meneliti kasus ganti rugi atau resistusi yang mana motivasinya sangat bagus namun sebenarnya tidak dapat mengembalikan situasi dan keadaan seperti sedia kala dan dalam proses pengadilan sulit untuk dieksekusi sehingga tidak berjalan dengan lancar karena pelaku tidak mendapatkan tekanan untuk ganti rugi.
- Sharing dari Wiwin Raswati (KABAR BUMI) yang mana membantu kasus-kasus buruh migran. Sebenarnya kasus TPPO tidak hanya terjadi di NTT saja namun juga di daerah lain juga. TPPO itu sesungguhnya terjadi karena kemiskinan. Sempat menangani kasus TPPO yang terjadi di Dubai, namun tidak mendapat respon yang positif. Kasus-kasus didaerah yang terjadi, PT yang merekrut calon PMI paling banyak adalah milik anggota DPR sehingga orangtua sebelum melapor sudah mendapatkan tekanan dan ancaman dan mereka mengurungkan niat mereka untuk melapor. Kedepannya pemerintah perlu untuk menekan perusahaan perekrut yang tidak resmi dan tugas kita bersama untuk memberantas TPPO.
Kesimpulan pertemuan online oleh Moderator:
Dewasa ini Indonesia bukan lagi negara tujuan perdagangan orang namun merupakan pengirim korban perdagangan orang dengan korban paling banyak adalah perempuan dan anak. Implentasi UUD TPPO masih sangat lemah. Alasan utama terjadi TPPO ini adalah karena kemiskinan dan solusi dalam menghadapi TPPO adalah agar calon PMI mengetahui agen resmi perekrut tenaga kerja, mengetahui kontrak kerja serta hak-haknya.
Sesi terakhir adalah foto bersama dan mengucapkan salam perpisahan.