Stop Kekerasan Seksual Pada Anak

Stop Kekerasan Seksual Pada Anak
Poster Stop Kekerasan Seksual Pada Anak pada acara Jubaedah pada Jumat (26/10/2021)

Jumat Bareng Berfaedah (Jubaedah) memfasilitasi sesi sharing untuk membahas mengenai penanganan kekerasan seksual terhadap anak pada Jumat (22/10/2021) pukul 16.00 WIB. Adapun pembicaranya merupakan perwakilan dari ECPAT Indonesia, Oviani Fathul Jannah dan P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak), Wulansari dibantu oleh Juru Bahasa Isyarat Cintra dan Opy. Seluruh acara dimoderatori oleh Partnership Officer Jakarta Feminist, Matthew Girsang dan dibuka dengan kata sambutan oleh Suster Irena, OSU. 

 

Oviani membuka sesi dengan memperkenalkan seputar karya ECPAT Indonesia dalam menangani anak-anak yang menjadi korban pelecehan seksual.

"ECPAT merupakan organisasi yang berfokus pada penghapusan eksploitasi seksual anak Indonesia yang bekerjasama di lebih dari 19 organisasi di 11 provinsi di Indonesia. Selain itu, ECPAT Indonesia juga merupakan bagian dari gerakan internasional yang tersebar di lebih dari 90 negara dengan melibatkan lebih dari 100 organisasi," ujarnya.

Oviani menjelaskan beberapa istilah terkait kekerasan seksual pada anak salah satunya Eksploitasi Seksual Anak (ESA). ESA merupakan pelanggaran terhadap hak anak yang terdiri dari kekerasan seksual orang dewasa dan pemberian imbalan uang dan anak dijadikan sebagai objek seks dan objek komersial.

"Ada beberapa unsur yang termasuk dalam ESA yakni membeli, menawarkan, memperoleh, memindahtangankan, memproduksi, menyediakan dan lain sebagainya," tuturnya.

Selain ESA, ada juga istilah lain menyangkut kekerasan terhadap anak yakni Kekerasan Seksual Anak (KSA). Namun keduanya memiliki perbedaan. ESA lebih mengarah kepada pelecehan seksual yang mengarah pada tujuan mendapatkan uang, barang, atau jasa kebaikan bagi pelaku eksploitasi, perantara atau agen. Anak tidak hanya dijadikan sebagai korban pelampiasan secara seksual secara perorangan melainkan dijadikan sebagai wisata seks anak.

Berdasarkan data KPAI terhitung dari Januari hingga April, ada sekitar 3 kasus TPPO dan eksploitasi terhadap anak. Berdasarkan data dari NCMEC (National Center for Missing and Exploited Children) kasus kekerasan terhadap anak mengalami peningkatan sekitar 98,66% pada Januari hingga September 2020.

Berdasarkan pengalaman penanganan kasus ECPAT Indonesia, menurut Oviani,  dari 1203 responden, ada 112 orang dikirimi tulisan pesan teks yang tidak sopan dan senonoh, 66 orang dikirimi gambar/video yang membuat tidak nyaman dan 27 dikirimi gambar/video yang menampilkan pornografi.

"Hal itu diperburuk dengan kondisi pandemi. Ada sekitar 24 orang yang diajak untuk live streaming membicarakan atau melakukan hal yang tidak senonoh atau sopan, 23 menggguggah hal buruk tentang diri korban tanpa seizin korban, 16 orang dikirimi tautan yang berisi konten seksual/ pornografi," ujarnya lagi.

Menurut Oviani, pertemanan online biasanya berdampak ke grooming online untuk tujuan seksual. Biasanya, pelaku akan memuji korban dan memberikan rasa nyaman kepada korban kemudian mulai memperdaya korban. Tindakan grooming tidak terbatas pada tindakan pertemuan fisik secara pribadi melainkan juga berlaku pada tindakan-tindakan yang dilakukan secara online.

Ada istilah lain yang terkenal yakni sexting yakni pembuatan gambar seksual sendiri atau penciptaan, pembagian, dan penelusuran gambar telanjang atau nyaris telanjang yang menggoda secara seksual melalui telepon genggam/ internet. Akibatnya, anak yang sudah melakukan sexting tersebut mendapat ancaman berupa penyebaran foto atau video tanpa persetujuan si anak dan biasanya dibawah ancaman. Pada umumnya, anak yang menjadi korban akan mengalami dampak seksual tertentu yakni kehilangan rasa percaya diri, mengalami trauma berkepanjangan, anak dapat menjadi pelaku, anak rentan terhadap bentuk kekerasan lainnya, dikeluarkan dari sekolah, mendapatkan diskriminasi, kehamilan anak di usia dini dan anak rentan terjangkit HIV -AIDS.

Untuk mencegah hal tersebut, Oviani menegaskan perlu dilakukan beberapa langkah sebagai berikut yakni melakukan edukasi mulai dari bahaya, modus, kesetaraan gender, dan literasi digital. Advokasi kebijakan pemerintah, memperkuat implementasi hukum ESA, meningkatkan kesadaran orangtua, guru dan orang yang ada di sekitar anak untuk mencegah terjadinya ESA.

Hal yang disarakan untuk dilakukan oleh anak untuk terhindar dari ESA maupun KSA tersebut adalah berani menolak pelaku, berani untuk pergi meninggalkan pelaku atau tempat yang dirasa tidak nyaman dan berani menceritakan kepada orang yang dipercaya apapun yang ingin dibagikan. Anak juga dihimbau untuk bertumbuh menjadi anak yang berhati-hati dalam memilih teman, berani memblokir teman jika bertindak tidak wajar dan membawa kepada hal yang negatif. Bagikan pengalaman berinternet kepada orang yang dipercaya. Tidak memposting informasi pribadi, mengunci akun sosial media (menjadi private akun), dan tidak mengirim gambar pribadi di chat room.

Sementara, Wulansari yang merupakan perwakilan dari P2TP2A mengatakan bahwa yang merupakan salah satu unit di bawah Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (DPPAPP) Provinsi DKI Jakarta menyedikan pelayanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan di DKI.

Adapun layanan yang diberikan berbagai macam hal berupa pelayanan pengaduan, layanan hukum, layanan psikologis, pendampingan korban, rujukan (medis, rumah aman/shelter) secara gratis.

Ada beberapa bentuk perlindungan negara terhadap anak dari kekerasan seksual yakni melalui Undang-undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dari eksploitasi seksual, Undang-undang No 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dari Kekerasamn seksual, Undang-undang No 21 Tahun 2007 tentang Penghapusan TPPO, Undang-undang No 31 Tahun 2008 Tentang transaksi elektronik dan informasi, Undang-undang No 44 Tahun 2008 Tentang pornografi anak.

Berdasarkan penjelasan Wulan, pada tahun 2021 terjadi peningkatan terhadap kasus TPPO dan ESA sebanyak enam kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Sebagian besar anak terjebak sebagai korban karena diiming-iming mendapat gaji yang besar, menjadi artis, dipaksa pacar menerima booking online, dijerat pinjaman dan modus lainnya.

Wulan mengatakan ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mendampingi korban yakni menjadi pendengar yang baik dengan menumbuhkan empati terhadap korban, menghindari sikap menyalahkan atau menyepelekan, mendampingi dan memberikan penguatan terhadap korban dan mengakses ke lembaga layanan.

Mengenai akses layanan, P2TP2A membuka akses aduan melalui hotline 081317617622. Selain itu, korban juga dapat datang ke posko pengaduan, pos Sapa Moda transportasi dan berbasis Kampus. Akses pengaduan Melalui Jakarta Siaga 112 (bebas pulsa). Akses pengaduan melalui Pos Sahabat Perempuan dan Anak Moda Transportasi juga dibuka. Bagi yang mau mengakses dapat mengaksesnya di Trans Jakarta, MRT, LRT.

Selain itu, terdapat Pos Sahabat Perempuan dan Anak (SaPA) di lingkungan kampus. Ada 10 kampus yang masuk dalam kategori tersebut yakni sebagai berikut: Universitas Kristen Indonesia (UKI), Universitas YARSI, Universitas MH Thamrin, Universitas Budi Luhur, Universitas Katolik Atmajaya, Universitas HAMKA, Poltekes Karya Husada, STIKES Carolus, STIE IPWIJA, UNINDRA. P2TP2A juga membuka akses kepada layanan pengaduan dan PK, layanan hukum dan layanan psikologi.