Menyediakan Hati Untuk Melayani yang Tersisih
Peringatan Hari Migran dan Pengungsi Sedunia 2019
Tanggal 29 September 2019, Gereja Universal merayakan Hari Migran dan Pengungsi Sedunia 2019. Berbagai macam kegiatan diadakan di berbagai tempat untuk memperingati hari ini. Dewan Kepausan Vatikan - Bagian Migran dan Perantau telah menetapkan tema perayaan untuk tahun ini: It Is Not Just About Migrants.
Di Jakarta sendiri, perayaan dipusatkan di Paroki Petrus dan Paulus Mangga Besar, dan diadakan oleh Komisi Keadilan Perdamaian KAJ bekerja sama dengan Jaringan Peduli Migran (JPM) KAJ. Peringatan diawali dengan Perayaan Ekaristi bersama umat setempat pada pukul 09.00 dengan konselebran: Romo Agustinus Purwantoro, SJ selaku Pastor Kepala Paroki Mangga Besar, Romo Adrianus Suyadi SJ, sekretaris Jesuit Conference Asia Pacific, Romo Paul Rahmat, SVD, Ketua VIVAT Indonesia, serta Romo Alsis Goa Wonga, OFM, Direktur JPIC-OFM. Sebelum Misa, umat yang datang diberi lembar doa yang disusun oleh Divisi Migran – Komisi Keadilan Perdamaian Keuskupan Agung Jakarta.
Misa yang dihadiri oleh sekitar 800 umat dirayakan dengan lebih istimewa dengan menghadirkan 4 orang pengungsi dari Somalia yang saat ini ada di Indonesia. Dalam homili, Romo Suyadi menguraikan satu persatu Pesan Bapa Suci Paus Fransiskus. Ini bukan hanya tentang migran, tetapi tentang ketakutan-ketakutan kita, tentang kasih, tentang kemanusiaan kita, tentang tidak ada seorang pun yang diabaikan, tentang menempatkan yang terakhir di tempat yang pertama, tentang seluruh pribadi manusia, tentang membangun kota Tuhan dan manusia.
Singkat kata, membahas masalah migran bukan terbatas hanya tentang mereka, tetapi ini juga tentang masalah kita semua umat manusia. Migran membantu kita membaca tanda-tanda jaman, dimana orang memiliki budaya menyingkirkan, semakin tertutup, dan tidak peduli. Melalui mereka, Tuhan mengundang kita untuk bertobat dan merefleksikan diri, mengambil bagian masing-masing untuk mewujudkan bumi yang sesuai dengan tujuan awal penciptaan.
Selesai homili, Romo Suyadi mengundang tamu-tamu pengungsi untuk berbicara mengenai keadaan mereka. Para pengungsi dari Somalia itu kemudian menceritakan, dengan status terdampar di negara lain, mereka merasa kehilangan hak-hak dasarnya dan kesulitan untuk mendapatkan akses makanan, kesehatan, pendidikan, mata pencaharian dan lain sebagainya. Mereka juga berterima kasih atas undangan untuk hadir pada kesempatan ini, karena dengan demikian mereka merasa dimanusiakan, setelah sekian lama mereka merasa tidak ada yang peduli pada mereka. Mereka juga berharap bahwa umat yang hadir dapat memberikan perhatian dengan cara masing-masing, dan juga mendoakan mereka agar dapat segera memperoleh jalan keluar untuk hidup lebih baik dan layak. Pada akhir Misa, umat diminta untuk mendaraskan Doa Untuk Para Migran dan Pengungsi yang sebelumnya telah dibagikan saat masuk gereja.
Selesai Misa, acara kemudian dilanjutkan dengan ramah tamah dan sharing dari para pendamping migran, pengungsi dan korban perdagangan manusia di Ruang Yohanes Lantai 2, Gedung Karya Pastoral Paroki Mangga Besar. Acara diawali dengan sambutan dari Pastor Kepala, Romo Ipung, SJ, yang menyampaikan harapannya bahwa dengan adanya acara ini, umat paroki dapat lebih menyadari sedikit mengenai kaum migran dan memahami perspektif dari dunia mereka. Kaum migran rentan dijadikan korban perdagangan manusia. Sudah menjadi rahasia umum, kawasan Mangga Besar merupakan salah satu kawasan yang rentan akan hal tersebut di Jakarta. Oleh karena itu, Romo Ipung berharap agar umat paroki dapat berperan aktif untuk ikut menuntaskan isu ini, karena umat lah yang akan tinggal di daerah itu dalam jangka waktu lama. Demi kawasan tempat tinggal yang lebih aman dan nyaman inilah, Romo berharap umatnya dapat memiliki sedikit pengetahuan tentang kaum migran ini. Setelah cukup memahami, kemudian umat diharapkan dapat memulai aksi nyata kecil bagi lingkungan sekitar.
Acara dilanjutkan dengan Sambutan dari Komisi Keadilan Perdamaian KAJ. Pada kata sambutannya, perwakilan dari KKP menyampaikan fokus KKP yaitu: manusia ada keutuhan ciptaan bagi Allah; memberikan perlindungan kepada mereka yang miskin dan tersisih sebagai keutuhan ciptaan; memelihara lingkungan hidup; dan keadilan serta kesetaraan gender. KKP berharap agar nantinya setiap paroki di KAJ ini memiliki Seksi Keadilan Perdamaian (SKP) sehingga masalah ini dapat diselesaikan dari akarnya. Saat ini belum semua paroki KAJ memiliki SKP, termasuk Paroki Mangga Besar. Namun, kesediaan Paroki Mangga Besar untuk menjadi tuan rumah bagi peringatan Hari Migran dan Pengungsi Sedunia kali ini cukup diapresiasi sebagai langkah awal yang bagus untuk memulai perhatiannya terhadap isu ini.
Romo Ismartono, SJ, Direktur Sahabat Insan, yang hari itu bertindak sebagai moderator membuka sharing dengan menyapa semua yang hadir di situ, dan mengajak semua orang untuk membiarkan hatinya digerakkan oleh kasih sayang dan perhatian untuk orang-orang yang paling menderita. Dengan hati terbuka, maka kita akan dapat meresapkan secara mendalam kisah-kisah dari mereka yang melakukan pelayanan dan pendampingan terhadap migran dan perantau ini, serta dapat merasakan penderitaan dan keputusasaan mereka. Romo Ismartono kemudian mempersilakan masing-masing narasumber untuk memulai kisahnya.
Penutur pertama adalah Romo Paul Rahmat, SVD, Ketua VIVAT Indonesia. Ia sudah menjadi aktivis buruh migran sejak lama. Pengalamannya dimulai ketika menjadi menjadi Pastor Paroki di Medan, dimana isu-isu mengenai kekerasan seksual yang dialami buruh migran cukup berhembus kencang kala itu. Setelah itu, kepeduliannya kepada buruh migran terus berlanjut sampai sekarang. Salah satu pengalaman menarik yang tidak bisa dilupakannya adalah kisah penyelamatan seorang anak perempuan dari jerat perdagangan manusia. Anak ini tadinya bekerja sebagai pekerja rumah tangga di Penang. Suatu hari ia mendengar majikannya sedang menelpon seseorang dan berencana menjual dirinya di tempat prostitusi. Sontak ia menghubungi keluarganya untuk mencari bantuan agar diselamatkan. Melalui seorang suster, keluarga pun menghubungi Romo Paul yang akhirnya berusaha mencari jalan untuk membebaskan anak malang tersebut. Setelah berkoordinasi dengan rekan yang ada di sana dan melalui beberapa peristiwa menegangkan, akhirnya anak perempuan tersebut berhasil kabur dari rumah tersebut, dan segera didampingi untuk mengurus surat-surat di KBRI dan akhirnya berhasil dipulangkan ke kampung halamannya dengan selamat.
Suster Agatha, RGS memiliki cerita yang berbeda. Ia merasa bahwa memang sudah jalan hidupnya harus menjadi musafir karena sejak kecil hidupnya berpindah-pindah dan tidak pernah menetap di suatu tempat lebih dari 6 tahun. Kondisi itu menjadikan Suster seseorang yang siap diutus ke manapun, hidup di perantauan dan tanpa kepastian. Tapi mungkin hal itulah yang akhirnya membawa suster berkelana jauh sampai ke Sudan. Bukan perkara yang mudah baginya untuk memulai hidup di sana, terlebih suster harus belajar bahasa Arab. Perbedaan kultur, agama, dan bahasa menjadi pergumulannya saat itu. “Tuhan, jika Kau izinkan aku berada disini, kuatkanlah aku untuk 3 hari ke depan.” Setelah lewat 3 hari, suster memohon kekuatan lagi untuk 1 minggu ke depan. Begitu seterusnya. Satu bulan… Satu tahun… Sampailah suster di penghujung misinya di Sudan, yaitu selama 4 tahun 3 bulan. Walaupun berat, tapi suster taat menjalaninya. Dan ketaatannya membawa berkat untuk orang-orang di Sudan sana.
Satu pengalaman Sr. Agatha yang menarik adalah ketika suster menyelamatkan dan mengembalikan seorang anak perempuan asal Sumba ke pangkuan orangtuanya. Anak yang saat itu masih kelas 5 SD tersebut diculik sepulang sekolah dan tanpa sepengetahuan orangtuanya, dijadikan pekerja rumah tangga di Malaysia. Orang tuanya mengira bahwa anaknya sudah hilang dan mati, karena tidak ada kabar darinya sejak kejadian penculikan itu. Sepuluh tahun kemudian, Sr. Agatha membantu untuk memulangkan anak itu ke Sumba. Ketika anak dan orangtua ini berjumpa, sungguh mereka tidak percaya. Anak mereka yang hilang, kini sudah kembali. Sukacita penuh yang dirasakan oleh Sr. Agatha karena telah mempertemukan keluarga ini.
Penutur selanjutnya, Bapak Gabriel Goa yang juga sudah malang melintang di dunia migran. Beliau tampaknya kenal betul mengenai bagaimana cara menyelamatkan buruh migran dari agen/majikannya yang tidak bertanggung jawab. “Jangan langsung diambil. Harus ada strateginya. Kalau tidak, nyawa kita yang melayang, karena kita bukan berhadapan dengan manusia biasa, melainkan mafia.” Manusia yang bukan lagi dianggap sebagai manusia, melainkan komoditas, diperjualbelikan dengan seenaknya.
Tahun 2018 saja, sebanyak 104 buruh migran Indonesia yang meninggal. Bapak Gabriel pun menyampaikan bahwa banyak kawasan di Indonesia yang menjadi sumber pengiriman perempuan ke negara-negara lain. Mereka dijadikan pengantin pesanan ke negara-negara tersebut. Bagi mereka, perempuan Indonesia menjadi komoditas yang sangat mahal untuk dijadikan sebagai prostitusi.
Salah satu pengalaman yang menarik dari suster adalah ketika beliau menyelamatkan seorang ibu yang dieksploitasi di Malaysia. Namanya Ibu Anita. Ibu Anita pulang ke Indonesia dalam keadaan buta. Suster ingin memulangkan ibu Anita ke keluarganya, tapi ibu ini menolak. Keluarganya bahkan sudah menganggap bahwa Ibu Anita sudah meninggal, karena sudah putus hubungan selama 9-10 tahun lamanya.
Sesampainya di Jakarta, ibu Anita dibawa ke 3 dokter spesialis mata untuk mengobati mata Ibu Anita. Tapi hasilnya nihil, karena saraf matanya sudah mati. Lalu, suster berperan menjadi gembala bagi ibu Anita, dimana suster dan tim mendengarkan dengan penuh kasih seluruh isi hati dan keluh kesah Ibu Anita, tanpa intervensi sedikitpun. Setelah selesai mengungkapkan pergumulannya, suster baru masuk untuk memberikan masukan. Seperti kisah yang tertera di Kitab Suci, domba yang hilang, kini telah ditemukan kembali.
Sr. Irena menjadi pendamping pekerja migran yang sudah menemani mereka cukup lama. Tugasnya sederhana. Hanya menjadi teman, menjadi pendengar yang baik, dan turut mendoakan. Karena sejatinya, mereka hanya perlu didengarkan dengan sepenuh hati dan ditemani dalam melalui hidup yang penuh dengan ketidakpastian ini. Modal utama untuk mendampingi mereka adalah hati yang tulus. Itu saja sudah cukup. Selain mendampingi buruh migran secara langsung, Sr. Irena juga memberikan penyuluhan ke sekolah, yang fokusnya adalah pencegahan. Salah satu pengalaman yang paling berkesan bagi suster adalah ketika memutus mata rantai perdagangan anak. Dalam hal ini, suster bekerja sama dengan NU. Masing-masing anak sudah ditentukan negara tujuan pengirimannya dan satu kepala dihargai 5 juta rupiah. Bayangkan, betapa teganya mereka memperdagangkan manusia yang punya hati dan perasaan. Yang lebih menyedihkan, yang diperdagangkan adalah anak-anaknya sendiri. Kebanyakan mereka berasal dari Indramayu, Karawang, dan Jakarta. Karena anak ini tidak pernah ke luar negeri, bahkan tidak pernah ke luar dari kampung halamannya, anak ini dibawa berputar-putar. Bandung – Surabaya – Jakarta - Surabaya lagi – Medan - Jakarta lagi - Rawa Bebek. Iming-iming yang diberikan mafia kepada anak-anak kecil ini untuk bekerja di Arab agar bisa naik haji gratis.
Selain kisah mengharukan ada juga cerita duka. Sr. Irena, Sr. Sari Puteri Kasih, dan 1 orang frater CM pernah memakamkan 1 orang yang terjangkit HIV/AIDS. Orang ini sudah bekerja di Malaysia selama 9 tahun, dan pulang ke Indonesia dalam keadaan terjangkit penyakit mematikan tersebut. Ketika orang ini meninggal akibat penyakit tersebut, keluarganya di kampung tidak mau menerima karena penyakit tersebut sangat menjijikan, dan dianggap penyakit menular. Akhirnya, dengan berlandaskan cinta kasih, suster dan rekan-rekan memakamkan orang ini di Jakarta. Satu kalimat yang paling membahagiakan Sr. Irena dalam menjalankan misi social ini adalah ketika seorang buruh migran menghubungi Sr. Irena dan berkata, “Suster, kami sudah sampai di rumah dengan selamat.” Sungguh, bahagia itu sesederhana ini.
Di akhir acara, Romo Ismartono, S.J sebagai moderator memberikan sedikit ringkasan mengenai sharing dari beberapa pemerhati buruh migran:
Mereka terlibat dalam isu perdagangan manusia karena panggilan pribadi, dan inilah yang membuat Romo tersentuh.
Panggilan pribadi tersebut sangat didukung oleh kongregasinya.
Mereka bergerak dengan pendekatan pribadi, yaitu kemanusiaan. Bukan sekedar memenuhi persyaratan belaka, seperti menanyakan kartu asilumnya.
Mereka tidak dapat bekerja sendiri. Melainkan, bergabung atau bekerja sama dengan komunitas agar tujuannya dapat tercapai. Hal ini disebabkan masalah buruh migran ini sangat kompleks, sehingga tidak dapat diselesaikan sendiri. Kita harus berpegangan tangan untuk menyelamatkan 1 jiwa manusia, karena ia berharga.
Karena dari banyak pengalaman yang sudah diceritakan, manusia dilihat bukan sebagai ciptaan Allah. Melainkan, sebagai barang komoditas yang tidak dihargai keberadaannya.
Sesi selanjutnya adalah tanya-jawab dengan pemerhati buruh migran. Beberapa pertanyaannya adalah sebagai berikut:
Bagaimana cara menangani isu kompleks yang dialami buruh migran ini?
Jawaban yang menarik datang dari Bpk. Gabriel. Beliau menyampaikan usul yang kreatif, yaitu dimana lembaga-lembaga pemerhati buruh migran bekerja sama dengan mendorong tokoh-tokoh agama agar keresahan mereka bisa didengar oleh pejabat publik. Sudah diketahui bersama, bahwa tokoh agama merupakan peran penting dimana suara mereka cukup menjadi panutan dan didengar oleh umatnya. Karena jika hanya mengandalkan komunitas, mereka hanya dianggap mencari dana, bukan fokus pada penyelesaian isu buruh migran ini. Padahal sebaliknya. Justru merekalah yang terus memperjuangkan hak-hak buruh migran yang selama ini diabaikan dan minim perlindungan juga dari negara.
Setelah buruh migran pulang ke kampung halamannya, lalu selanjutnya apa? Apakah permasalahan mereka selesai sampai disitu?
Jawaban dari para pemerhati buruh migran ini cukup seragam, dimana mereka memberdayakan para eks buruh migran agar mereka bisa berkarya di kampungnya. Contoh usaha yang mereka sharing-kan adalah:
Sekolah Hotel Sumba
Anak-anak eks buruh migran disekolahkan di Sekolah Hotel Sumba secara gratis. Bukan hanya itu, mereka juga disediakan asrama sebagai tempat tinggalnya. Seperti diketahui bersama, Sumba kaya akan potensi alamnya, dan pariwisata menjadi salah satu penopang ekonomi pulau tersebut. Dengan didirikannya hotel di Sumba dengan memberdayakan para eks buruh migran, ini dapat membantu menyelesaikan 2 permasalahan sekaligus, yaitu meningkatkan perekonomian Sumba dan membantu memutus mata rantai perdagangan manusia di Sumba. Sambil menyelam minum air.
Suster juga pernah mendampingi 1 nona Sumba yang baru kembali dari perantauannya. Dengan penuh kasih, suster mengantar nona ini ke psikiater karena goncangan jiwa yang dialaminya. Dalam bekerja, suster tidak sendirian. Melainkan bekerja sama dengan suster dan romo paroki yang berada di Sumba. Setelah nona ini dinyatakan sehat oleh dokter, nona ini kembali ke rumahnya dengan sehat dan selamat.
Psikotes di shelter penampungan
Psikotes ini ditujukan untuk mengetahui bakat para eks buruh migran. Dengan mengetahui bakat dan minatnya, suster dapat membantu mengembangkan bakat mereka. Contohnya, jika ada yang berminat di bidang pertanian, maka suster akan mencarikan petani atau lembaga pertanian. Hal ini dilakukan agar kemampuan dan pengetahuan anak ini bertambah mahir pada bidang yang diminatinya.
Para eks buruh migran yang telah kembali ke kampung halamannya ini diharapkan menjadi agen dan penyampai pesan bahwa tidak perlu ke luar negeri untuk mencari uang dan menyejahterakan kehidupan keluarganya. Dengan mengembangkan bakat yang dimiliki, mereka tetap dapat berkarya di kampung halamannya, dekat dengan orang-orang yang dicintainya.