Film Bouyancy, Potret Kelam Kehidupan Pekerja Migran

Film Bouyancy, Potret Kelam Kehidupan Pekerja Migran
Buoyancy oleh Rodd Rathjen

Bouyancy diawali dengan kisah Chakra, remaja lelaki asal Kamboja berusia 14 tahun yang sedang resah karena merasa dieksploitasi oleh orang tuanya sendiri. Walaupun memiliki banyak saudara, namun hanya ia yang disuruh mengerjakan sawah ladang milik keluarga. Ia kemudian mencari informasi ke teman-temannya bagaimana agar bisa mendapatkan penghasilan sendiri dan akhirnya disarankan untuk pergi ke Thailand untuk bekerja di sebuah pabrik.

Kisah-kisah selanjutnya tanpa henti mengupas satu demi satu penderitaan yang harus dia lalui. Bagaimana ia terpaksa meminjam uang kepada sopir yang membawanya ke perbatasan karena ia tidak memiliki uang sepeser pun. Bagaimana ia menunggu di ladang terbuka untuk dijemput tengah malam dan ditumpuk bersama ratusan orang lainnya serta ditutup kain terpal agar dapat melintasi perbatasan Thailand. Sampai di sana ia pun harus menghadapi kenyataan bahwa ia bukan dipekerjakan di pabrik seperti yang dijanjikan tapi malah dijual kepada pemilik kapal penangkapan ikan.

Di bawah boss yang sangat kejam dan arogan, pada siang hari ia bekerja menangkap dan memasukkan ikan ke dek kapal, makan hanya nasi dan air kotor sehari sekali, dan malam hari tidur di bagian bawah kapal yang sempit dan gelap berdesak-desakan dengan pekerja lainnya. Kekerasan dan kearoganan yang dilakukan oleh sang boss ia alami setiap hari. Satu demi satu pekerja yang tidak berdaya berjatuhan menjadi korban karena mencoba melawan hingga pada akhirnya ia menyimpulkan bahwa tidak ada jalan lain untuk bisa bertahan selain menjadi sama jahatnya dengan sang boss. 

Film tersebut dengan sempurna menggambarkan setiap tahapan proses perdagangan manusia yang kerap menimpa para pekerja migran yang ingin meningkatkan kesejahteraan hidup mereka dengan mengadu nasib ke negeri orang tanpa pengetahuan dan ketrampilan apapun. Cerita tentang pekerja non-dokumen yang diberangkatkan melintasi batas negara secara ilegal dan terjerat hutang kepada yang memberangkatkan sudah sering kita dengar. 

Ketika berada di luar negeri, dengan situasi yang sangat asing, para pekerja ini pasrah untuk diperlakukan apa saja, dan seringkali menemui kenyataan pahit bahwa pekerjaan yang diterima tidak sesuai dengan yang diharapkan. Pengambilan latar belakang laut dalam cerita ini mewakili situasi pekerja migran yang kerap terkekang di lingkungan kerjanya karena dokumen disita agen/majikan, atau tidak diijinkan memegang alat komunikasi, acapkali juga tidak digaji sehingga mereka tidak memegang uang dan tidak bisa berbuat apa-apa jika terjadi sesuatu. Adegan ikan-ikan kecil yang masuk jaring perangkap, kemudian dilemparkan ke dasar kapal yang gelap pun ikut mewakili gambaran jerat perdagangan manusia yang menyasar orang-orang kecil. Makanan sehari-hari yang diberikan hanya nasi keras tanpa lauk serta minuman kotor yang tidak layak untuk diminum, tapi tidak ada pilihan lain untuk mengisi perut  yang lapar dan tenggorokan yang kering sehingga mau tidak mau makanan tanpa gizi tersebut harus mereka telan. Kondisi kerja, makanan minuman serta jam kerja yang tidak manusiawi membuat mereka rentan untuk sakit. Setelah kondisi mereka dianggap tidak layak untuk bekerja, maka akan terbuang dan tak jarang pada akhirnya mati dengan pasrah. 

Menjelang akhir tahun ini, setidaknya 113 jenazah pekerja migran telah diterima di Terminal Kargo Bandara El-Tari, Kupang NTT. Sebagian besar meninggal karena gangguan saluran pernafasan (asma) dan juga jantung. Film ini mampu menjelaskan dengan gamblang mengapa hal itu bisa terjadi. Pernah ada kasus-kasus dimana para pekerja kemudian melakukan perbuatan kriminal. Walaupun tidak membenarkan perbuatan tersebut, mungkin lebih bijak jika dapat digali lebih dalam apa yang menyebabkan ia mampu berbuat seperti itu. Seperti yang ditayangkan dalam film tersebut, penderitaan demi penderitaan membuat mereka kehilangan rasa kemanusiaannya demi menyelamatkan diri sendiri agar tidak menjadi korban seperti teman-temannya.

Film ini kemudian ditutup dengan menyisakan pertanyaan untuk penontonnya. Saat pada akhirnya ia berhasil menyelamatkan diri dan kembali ke kampung halaman, ia yang tadinya begitu gembira akan bertemu keluarganya, tiba-tiba mengurungkan niatnya dan memutuskan untuk menjalani kehidupannya sendiri terpisah dari keluarganya. Apa yang mendasari keputusannya? Apakah ia dendam? Atau ia trauma dan ingin memutus lingkaran yang membuat ia mendapat pengalaman yang mengerikan? Atau ia takut dimanfaatkan? Sepertinya sang sutradara sengaja menggantungkan akhir cerita namun tetap dengan sebuah pesan: bahwa efek perdagangan manusia tidak berakhir begitu saja walaupun ia sudah berhasil keluar dari jerat tersebut, namun masih akan menyisakan masalah-masalah lainnya, terutama yang berkaitan dengan proses re-integrasi.