Hentikan Ketidaksetaraan dan Kekerasan Terhadap Anak Perempuan

Hentikan Ketidaksetaraan dan Kekerasan Terhadap Anak Perempuan
Romo Ismartono, SJ dalam acara peringatan Hari Anak Perempuan Internasional dalam webinar oleh Talitakum pada Sabu (16/1021) pukul 10.00 WIB

Dalam rangka memperingati hari anak perempuan internasional, Talitakum mengadakan Webinar dengan tema “Upaya mengatasi Ketidaksetaraan dan Kekerasan Terhadap Anak Perempuan” pada Sabtu (16/10/2021) pukul 10.00-13.00 WIB.   

Seluruh narasumber dalam acara ini membagikan pengalamannya secara langsung dalam mendampingi korban kekerasan secara khusus anak perempuan yang dimoderatori oleh Suster Irena, OSU.

Sebelum memulai acara, peserta diajak menyanyikan lagu Indonesia Raya dan mengawali kegiatan dengan doa yang dimpimpin oleh Suster Katarina Maria, SND.

Narasumber pertama, Valentina Sagala, Se, Me, SH menyampaikan betapa penting memperjuangkan  kesetaraan gender dengan membela perempuan khususnya anak.

“Kami berupaya mengatasi ketidaksetaraan terhadap perempuan. Semoga acara ini membuka hati budi pikiran dan aksi terhadap anak perempuan di tempat kita masing-masing,” ujarnya.

Dalam paparannya, Valentina mengatakan bahwa sejak 1 Januari hingga Agustus 2021, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan sangat banyak. Ada 4.048 kasus kekerasan terhadap perempuan. Dari kasus tersebut, ada 4.101 korban. Dari jumlah tersebut, kasus kekerasan yang paling dominan adalah KDRT, yakni sebanyak 3.004 kasus atau setara dengan 74,2%. Sementara, jika dispesifikkan, kasus kekerasan terhadap anak ada 5.481 kasus dan jumlah korban anak ada 6.072 orang. Di antara kasus kekerasan terhadap anak tersebut, kasus yang paling dominan adalah kekerasan seksual yakni 3.225 (58,8%). 

Valentina menambahkan fakta lain yang berkaitan dengan permasalahan anak. Berdasarkan data dari KPAI, ada belasan juta anak yang berusia 14 hingga 18 tahun yang aktif di media sosial. Pada kurun waktu 8 tahun yakni sejak 2011 hingga 2019 kasus pornografi dan cybercrime menempati peringkat ke-3 dengan jumlah kasus 3922 kasus dalam pengaduan anak kepada KPAI. 

Oleh karena itu, Valentina mengajak semua peserta yang tergabung dalam webinar untuk mengasah kepekaan, khususnya yang berprofesi sebagai pendidik. Dalam beberapa kasus, ada beberapa guru yang tidak memiliki kepekaan dalam melihat perubahan pada anak didiknya, misalnya ada anak didik yang periang mendadak berubah menjadi murung atau lebih agresif dari sebelumnya. Anak didik dengan ciri tersebut pada umumnya merupakan anak korban kekerasan.

“Untuk para pendidik, jika menemui kasus kekerasan terhadap anak, sebaiknya segera dampingi dengan sangat hati-hati. Jangan menanyakan kepada orang tua si anak karena siklus kekerasan kerap kali menunjukkan bahwa pelaku dan korban saling kenal. Bisa jadi pelakunya adalah orangtuanya, maka lebih baik segera laporkan ke pihak berwajib,” ujarnya.

Bagi orangtua, menurut Valentina, perlu mendampingi anak secara ekstra sehingga anak bisa terhindar dari berbagai bentuk kekerasan dari orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Selain itu, orangtua wajib berhati-hati tentang identitas anak di sosial media dan membantu anak mengelolah sosial media.

“Tanggungjawab menjaga anak adalah tanggungjawab kita, orang dewasa, bukan tanggungjawab si anak sehingga segala sesuatu yang menimpa si anak tidak bisa menyalahkan anak,” ujarnya.  

Valentina menegaskan bahwa sebagian besar kasus kekerasan terhadap anak, khususnya kasus grooming, ditimbulkan karena anak kekurangan kasih sayang dari orangtua. Para pelaku dengan mudah memanfaatkan situasi tersebut dan mengatakan bahwa satu-satunya orang yang peduli dan sayang dengan si anak hanya orang tersebut. Dengan demikian, anak akan menuruti apapun yang dikatakan oleh orang tersebut.

Kisah lain tentang kekerasan dibagikan oleh pembicara kedua, Suster Lia, RGS. Ia mengatakan bahwa seorang pribadi jauh lebih berharga daripada seluruh dunia. Jadi, menurutnya satu pribadi yang sudah terluka wajib dirangkul.

“Kami berkomitmen untuk menjaga dengan penuh belas kasih dan rasa hormat mereka yang tersingkir. Orang yang kami tuju adalah anak-anak dan korban kekerasan agar mereka menemukan masa depan yang lebih baik,” ujarnya.

Nilai yang dianut berkaya di pelayanan tersebut menurutnya adalah nilai belas kasih, rekonsiliasi, solidaritas dan syukur.

“Sering mereka datang ke shelter kami sudah tidak punya saudara, tidak memiliki apa-apa, maka harus dirangkul dengan belas kasih dengan mengutamakan solidaritas kepada mereka yang terkungkung hidupnya. Setiap orang yang datang dikirim Tuhan sendiri,” ujarnya lagi.


Satu dari ragam permasalahan yang dilayani di shelter tersebut adalah kasus seorang anak yang diperkosa oleh ayah kandungnya sejak umur 3 tahun dan ibu dari anak tersebut ternyata pernah mengalami hal yang sama sewaktu masih kecil oleh orang dekatnya, yakni pamannya. Ibu tersebut menjadi depresi dan minder dengan seluruh kekerasan yang dialaminya sekaligus oleh anak perempuannya, sehingga kondisi tersebut tidak mudah dipulihkan. Oleh karena itu, para korban wajib didampingi secara sungguh-sungguh berdasarkan belas kasih dan memberi rasa aman.Dalam shelter yang dikelolah RGS, para korban didampingi dari segala aspek yakni pendampingan psikologis dan spiritual untuk mengembangkan kreatifitas, journaling dan spiritualitas para korban.

“Jika kita tidak berjuang sekarang untuk anak perempuan ini maka mereka sudah hancur sebelum menjadi perempuan dewasa,” tambahnya.  

Pembicara selanjutnya adalah Suster Genoveva, SSPS dari Vivat Internasional. Melalui kesempatan berbagi pengalaman, ia membagikan betapa pentingnya jejaring untuk menyuarakan kasus-kasus kekerasan ke tingkat nasional bahkan internasional seperti PBB.

“Saya tidak turun ke lapangan dan bersentuhan dengan korban, namun kami, Vivat sebagai jembatan yang menjembatani korban-korban yang sedang kami bantu. Kami berjejaring,” ujarnya.

Advokasi dalam isu anak, perempuan dan gender menurutnya bertujuan untuk menaikkan isu menjadi perhatian publik baik secara nasional maupun internasional di tingkat PBB.

“Kami berkolaborasi dengan berbagai pihak secara nasional dan internasional. Bekerja dengan teman-teman biarawan dan biarawati dan awam yang bekerja untuk korban yang termarginalkan di dalam masyarakat” ujarnya lagi.

Pendampingan terhadap korban dilakukan dalam setiap karya yang ditangani oleh SSPS yang tergabung dalam Vivat seperti menyediakan asrama, sekolah PAUD hingga SMA dan shelter. Karya yang ditangani sering menerima pengaduan dan melakukan pendampingan terhadap korban,” tambahnya..

Vivat juga melakukan pendampingan dan pengembangan kreatifitas perempuan seperti menenun kain adat khas NTT. Lembaga ini mendukung para tani yang terdiri dari anak muda maupun orang tua agar dapat mengelolah pertanian dengan baik khususnya di daerah Belu dan Flores.

“Kami selalu berusaha untuk dapat berperan dalam mempengaruhi kebijakan dan negara untuk dapat lebih berpihak pada perempuan dan anak. Sejak tahun 2000, Vivat sering menggunakan instumen PBB untuk mengangkat isu KDRT dan keseteraan gender,” ujarnya.

Pembicara selanjutnya merupakan perwakilan dari anggota Padma, Gabriel Goa.

“Kami mendampingi para korban kekerasan. Biasanya kami membantu dalam membuat laporan kekerasan kepada polisi dengan menggunakan kekuatan berjejaring,” ujarnya.

Padma menurut Gabriel mendampingi para korban kekerasan untuk menyelesaikan masalah kekerasan secara konsisten hingga tuntas di pengadilan. Para korban diminta untuk memberikan keterangan yang tidak berubah-ubah saat memberikan kesaksian saat proses penyidikan berlangsung hingga ke pengadilan.

“Kami juga mendampingi korban yang terlibat konflik lahan di NTT, Aceh dan Kalimantan” ujarnya.

Pembicara selanjutnya adalah perwakilan dari Mitra Imadei, Rina Satdewi. Ia berkarya dalam pendampingan Pekerja Rumah Tangga (PRT) untuk dapat mengembangkan bakat dan talenta yang mereka miliki.

“Dulu saat kami melakukan pendampingan terhadap PRT dewasa, ternyata ada banyak pekerja yang dibawah 17 tahun alias di bawah umur,” ujarnya.

Menurutnya, PRT yang bekerja di daerah Tangerang sebagian besar berasal dari kampung (di luar Jakarta) namun PRT yang bekerja di Bekasi biasanya orang setempat. Kedua kategori PRT tersebut biasanya memiliki tingkat pendidikan yang rendah karena putus sekolah. Biasanya mereka mengorbankan pendidikan mereka untuk menambah pendapatan keluarga bahkan menjadi tulang punggung.

“Dalam pendampingan terhadap PRT ini biasanya kami mengadakan kegiatan teater untuk meningkatkan kepercayaan diri para PRT. Selain itu, kami dorong agar berani terlibat dalam kampanye untuk menyuarakan situasi dan kondisi yang mereka hadapi sebagai PRT,” ujarnya.

Dalam pendampingan terhada PRT, Rina mengaku memiliki beberapa hambatan terutama dalam mendampingi PRT yang tinggal di rumah majikan. Biasanya PRT tersebut tidak mendapat izin dari majikan untuk mengikuti kegiatan.

Pembicara terakhir adalah Suster Josie,PK yang berkarya dalam pendampingan anak-anak di Rumah Kerang Puteri Kasih di Cilincing. Anak-anak didampingi saat libur sekolah.  

“Karya yang kami lakukan dalam mendampingi anak-anak dan perempuan usia SD, SMP dan SMA. Biasanya mereka kami bekali dengan pelatihan menjahit, memasak, dan keterampilan yang mencukupi kehidupan mereka kelak,” ujarnya.

Dalam menjalani karyanya di Rumah Kerang Puteri Kasih, ada beberapa kendala yang dialaminya yakni ketika berhadapan dengan mentalitas orang-orang dampingan yakni mentalitas instan yang tidak tahan untuk berproses. Para dampingan ingin segera mendapatkan uang saat itu juga.

“Biasanya mereka yang kami dampingi ingin mendapat uang dengan cara mudah dan cepat. Rejeki yang mereka dapatkan pada satu hari harus habis hari itu juga,” ujarnya.

Sebagian besar anak yang tinggal di wilayah tersebut memiliki kegiatan mengupas kerang hasil tangkapan nelayan. Ada juga yang mengikuti orangtua untuk berlayar dan menangkap ikan sehingga tidak tertarik untuk sekolah karena sudah tahu bagaimana caranya dapat uang.

Di akhir acara, Romo Ismartono, SJ menekankan bahwa seluruh peserta kegiatan hendaknya dapat melayani dengan sepenuh hati dan dari hati untuk berjuang mulai dari di lapangan sampai yang luar lewat hukum.

“Melayani bukan hanya karena diminta oleh unsur-unsur luar. Ini adalah usaha anda menciptakan budaya baru. Budaya itu adalah sesuatu muncul karena kebiasaan. Anak perempuan tidak dihargai, mungkin dulu hanya dilakukan satu orang, namun jika dikuti orang banyak orang maka akan banyak yang melakukanya dan menjadi budaya,” ujarnya.

Ia mengatakan jika dalam hidup yang banyak perbedaan ini diperbedakan maka akan menimbulkan sebuah masalah, maka jangan memperbedakan sesama.

“Mereka subyek yang sama, mereka beda tetapi tidak boleh diperbedakan,” ujarnya.

Menurutnya, kemuliaan sebuah bangsa dan bangsa berbudaya berbanding lurus pada mereka yang paling lemah, maka pembangunan sekolah, jalan, gedung bukan menjadi ukuran kesuksesan kehidupan. Hal yang menjadi ukuran kesuksesan kehidupan sebuah bangsa adalah jika jumlah mereka yang menderita yang merupakan korban ketidakadilan semakin kecil.

“Jangan sampai mengurus orang sakit hingga menjadi sakit, maka kita harus saling mendukung dan berjuang bersama untuk menjadi bangsa yang berbudaya,” ujarnya.

Sebelum memberikan berkat penutup, ia mengajak peserta untuk berpegang teguh pada pesan Yesus yakni “Biarlah anak anak datang kepada-Ku”.

“Kita tidak boleh menghalangi anak karena anak adalah suatu tanda indah dari Tuhan. Semoga Tuhan menyertai kita yang tetap mencintai perjuangan ini serta selalu bersyukur dengan apa yang kita miliki,” pungkasnya.